Sejarah
“JEJAK KAKI” BENGKEL APPeK NTT
Modal Awal : Spritualitas Perjuangan
Tahun 2005 hingga bermuara pada 26 Januari 2006 adalah fase bagi sekumpulan aktivis menggagas suatu perkumpulan. Imajinasinya adalah perkumpulan tersebut adalah tempat belajar dan mengkreasi berbagai potensi. Imajinasi tersebut mengantar pada suatu nama yaitu “Bengkel”—suatu tempat mereprarasi. Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (APPeK) bermakna bahwa tempat reprarasi tersebut adalah tempat untuk mendorong pemberdayaan, menguatkan yang lemah dan marginal sebagai sasaran utamanya.
Di awal berdirinya, inisiator Bengkel APPeK yang dimotori Vinsensius Bureni, Laurensius Sayrani dan Maria Yulita Sarina didukung teman aktivis seperti Tarsisius Tani, Valen Manek, Djoharjo Padeda,Gusti Tiza,Largus Ogut, Rofina Tahan mulai mendiskusikan dan terus berupaya agar Bengkel APPeK segera terealisasi baik dari aspek administrasi maupun akatifitas-aktifitas advokasi secara sukarela. Pendukung Motivator luar bisa juga datang dari ibu Silvi Fanggidae, Dr. Jhon Kottan Sh,Mhum, Dr. David Pandie, ibu Lerry Mboeik, Ibu Yuliana Ndolu, dan Bapak Urbanus Ola Hurek Ms
Hal pertama yang dilakukan inisiator adalah melakukan konsolidasi dengan orang baik lembaga maupun individu yang memiliki kepedulian yang sama untuk melakukan gerakan bersama dan membagi peran-peran dalam mengelola Bengkel APPeK. Konsolidasipun tercapai dimana ada yang secara sukarela bersedia menjadi Pendiri, Pengurus, pengawas dan Pelaksana. Atas kerja keras inisiator maka lahirlah bengkel APPeK tepatnya pada tanggal 26 Januari 2006 secara resmi.
Sejak tahun 2006, Bengkel APPeK mengandalkan kemampuan manusia dari organ-organ yang ada. Tidak ada sumber daya pendukung lain seperti dana, komputer, alat komunikasi dan berbagai keterbatasan lainya seperti meja, kursi, lemari dan lain sebagainya. Pelaksana (eksekutif) pada tahun 2006 berjumlah 11 orang relawan. Operasional kantor rmengandalkan honor panitia dan fasilitator jika ada yang diundang oleh lembaga lain untuk membantu dalam kegiatan-kegiatan sebagai panitia atau fasilitator. Seorang yang mendapatkan hak dari fasilitator atau panitia dibagi ke sebelas orang yang lain dan sisanya untuk menjadi operasional harian kantor. Terkenang saat itu, dalam sebuah kegiatan PIKUL NTT yang hanya menanggung satu orang sebagai panitia diberi honor Rp. 400.000,-. Dari 400.000 tersebut dibagi 300.000 nya untuk 11 orang dan sisa 100.000,- untuk operasional kantor. Kejadian ini terus menerus dilami oleh eksekutif selama satu tahun sejak berdirinya Bengkel APPeK. Untuk sebuah meja rapat, dibuat dari tangan sendiri Djohardjo Padeda. Sebuah meja dibantu oleh Dr. Jhon Kottan sebagai pengurus dan kursi 5 buah kursi dibantu oleh pemilik rumah kontrak kantor.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga individu eksekutif maka pada pagi hari dan sore sebelum dan sesudah berkantor harus mencari pendapatan dengan cara OJEK, bisnis ayam, bisnis sepatu dan lain-lain yang dianggap halal.
Kondisi ini tidak menurunkan semangat gerakan para aktivis Bengkel APPeK. Pendampingan terhadap kelompok basis dan Jaringan perempuan usaha kecil dilakukan sukarela tanpa biaya.
Atas kerja sukarela yang tanpa surut, maka kepercayaan publik terhadap Bengkel APPeK mulai dirasakan. Di tahun 2007, dengan IIEF-Ford Foundation, Bengkel APPeK mencoba mendorong proses pendidikan pemilih khususnya bagi kelompok perempuan dalam pilkada. Kerjasama awal ini telah membukan lembaran kepercayaan dan mulai berkembangnya Bengkel APPeK. Sebagian besar anggota relawan Bengkel APPeK pun mulai tersebar untuk menjadi bagian dari lembaga lain/program lain diluar Bengkel APPeK. Ada yang ke FK PNPM, ada yang ke Access, ada yang dosen, ada yang menjadi pendamping PKH dan terakhir relawan yang sejak awal bertahan hingga saat ini tinggal 3 orang. Keberadaan para relawan diluar Bengkel APPeK masih terus berkoordinasi dan membantu dengan caranya untuk terus mengembangkan Bengkel APPeK sebagai lembaga publik yang terus berjuang untuk kepentingan desa dan kelompok rentan di NTT.
Kepercayaan dari publik baik masyarakat, pemerintah dan mitra NGO/donor mulai tahun 2008 hingga saat ini dengan personil aktifis yang bergabung di Bengkel APPeK saat ini 33 orang yang tersebar diberbagai program di bengkel APPeK. Desa/kelurahan dampingan Bengkel APPeK sudah mulai meluas hingga ke 63 desa kelurahan yang tersebar di Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan kabupaten Timor Tengah Utara.
Kepemimpinan Bengkel APPeK
Proses kepemimpinan selama 6 tahun terakhir telah terjadi pergantian dengan tradisi musyawarah mufakat dalam koridor kebersamaan, kekompakan dan penuh kekeluargaan.
Sejak tahun 2006 para aktifis secara musyawarah mufakat memilih Laurensius P. Say Rani dan dibantu asisten koordinator Vinsensius Bureni. Kepemimpinan ini berlangsung selama tahun 2006-2008 (2 Tahun). Pada tahun 2008 terjadi pergantian dengan proses musyawarah mufakat memilih Vinsensius Bureni sebagai koordinator menggantikan Laurensius P. Say Rani, karena beliau melanjutkan studi Magister. Assiten koodinator ditempati oleh Valentinus Manek atas kesepakatan para aktifis. Pada tahun 2009 Valent Manek Mengundurkan diri dari Bengkel APPeK dengan alasan sakit dan disarankan dokter untuk istirahat total. Akhirnya disepakati untuk posisi asisten koordinator umum adalah suadara Tarsianus Tani. Duet Vinsensius Bureni dan Tarsianus Tani hingga Tahun 2013.
Bengkel APPeK dan Konteks “ketidakberdayaan”
Dalam ranah empirik, Bengkel APPeK sebetulnya lahir dari kegelisahan dan permenungan bahwa : ada sebagian warga/komunitas/ wilayah/desa yang tersisihkan. Khusus untuk desa, persoalan ketertinggalan desa adalah persoalan ketidak adilan pendisitribusian perhatian pembangunan oleh pemerintah hanya berfokus dan bias pada wilayah kota. Pada hal kontribusi desa sebagai pemilik sumber daya sangat besar kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di NTT. Tidak sedikit sumberdaya alam yang dimiliki desa dikelolah untuk kepentingan masyarakat dengan dalil Pendapatan Asli Desa. Tata kelola pemerintahan desa pun masih diintervensi oleh pemerintah tingkat atas desa. Selain itu kekayaan eknomi, sosial dan budaya justru semakin terkikis dengan pendekatan berbagai program seakan desa hanya bisa “diberi” atau “dibantu” dan bukan menjadi bagian dari sumberdaya (subyek) yang secara mandiri mengelola sumberdaya-sumberdaya itu untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka sendiri.
Disisi lain perempuan masih sebagai pelengkap dalam pengelolaan berbagai sumberdaya baik didalam desa/kelurahan maupun program-program yang datang dari luar desa. Perempuan dianggap tidak pantas bersuara dan pemiliki sumber daya karena dominasi budaya “Pemilik” ada pada pihak laki-laki.
Atas dasar permenungan itu maka muncul inisiatif untuk mendirikan Bengkel APPeK menjadi teman/mitra saling mendiskusikan, memperjuangkan dan membagi pengetahuan dengan masyarakat desa/kelurahan secara umum dan kelompok rentan termasuk perempuan untuk mengadvokasi tanggungjawab negara (pemerintah) dalam pemenuhan hak-hak desar mereka termasuk memberikan penghargaan kepada desa untuk secara mandiri mengelola, mengatur dan memerintah sumberdaya yang dimiliki untuk kepentingan desa dan perempuan.
Untuk itu dalam mendorong pemenuhan kepentingan masyarakat desa dan perempuan/kelompok rentan maka Bengkel APPeK menjadikan pengambil kebijakan diberbagai level pemerintahan sebagai mitra strategis untuk berkolaborasi dalam memberikan pengetahuan, pembelajaran, pemberdayaan dan mendesign berbagai kebijakan yang berpihak pada desa dan kelompok rentan termasuk perempuan.
Semoga spirit perjuangan terus dan terus berkembang dan memiliki arti besar bagi perubahan di NTT.
Salam