Pemilu sebagai arena politik distribusi sumber daya yang berwibawa, bermartabat dan berkelanjutan
Oleh : Vincent Bureni
(Koordinator Umum Bengkel APPeK NTT)
Details
By Vinsensius Bureni
Vinsensius Bureni
Hits: 3010
Dalam sebuah proses diskusi dengan warga yang difasilitasi penulis, sebuah pertanyaan mengawali diskusi tersebut adalah Apa Kesan Anda tentang Politik. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sangat variatif dari peserta yang hadir. Ada yang mengatakan politik itu kotor, politik itu abu-abu, politik itu kekuasaan. Dengan kekuasaan, sesorang bisa berbuat apa saja agar mendapatkan keuntungan pribadi. Bahkan ada peserta juga mengatakan bahwa politik itu sama dengan saya dapat apa.
Jawaban polos memaknai politik tersebut merupakan potret politik kita selama ini yang dapat diketahui,dirasakan, dan dialami oleh siapa saja akhir-akhir ini bahkan terus berulang. Tentu saja kita juga mulai mengoreksi siapa yang salah dan kesalahan itu dimulai dari mana dan akan berakhir kapan. Brutal realitas politik ini kemudian membuat banyak diantara kita alergi dengan politik bahkan dalam kaitanya dengan pemilu, cenderung memutuskan untuk tidak memilih. Sama sa, kotong pilih habis dong lupa kotong dan hanya ingat diri. Su nae mobil mewah kasi nae kaca kotong yang dapat abu bahkan nomor handphon (HP) ganti ko kotong sonde bisa hubungi dong lai..jadi lebe bae sonde usah pilih. Pernyataan ini dapat diasumsikan bahwa politik sudah tidak penting lagi. Politik tidak memberikan harapan kebahagian baru bagi kebanyakan orang.
Penulis mencoba mengibaratkan politik sebagai sebuah kapal yang ditumpangi ratusan penumpang hendak berlayar ke sebuah daerah namun dalam perjalanan, kapal itu terkandas yang mengorbankan banyak nyawa dan hanya 5 orang yang selamat terdampar pada sebuah pulau. Di pulau itu, hanya ada sebuah pohon kelapa dan ikan didalam laut sebagai sumber kehidupan mereka. Hukum alam pun menjadi cara tepat dalam melawan hidup saat itu. Yang kuat dan bisa renanglah yang dapat mengambil kelapa dan ikan untuk bertahan hidup sementara yang tidak bisa panjat kelapa dan renang tentu akan mati kelaparan. Tapi pada suatu saat, kelima orang tersebut mengorganisir diri dan memilih salah satu orang menjadi pemimpin. Kehadiran pemimpin tersebut kemudian berkuasa memfasilitasi untuk menyepakati bersama-sama pemanfaatan dan pembagian sumber kehidupan (kelapa dan ikan) secara merata. Ada yang bertugas mengambil kelapa dan menangkap ikan dilaut. Hasil tersebut kemudian dikelolah dan dibagikan secara adil agar semua dapat menikmati dan dapat bertahan hidup.
Kepolosan peserta memaknai realitas politik dan ceritera kapal terkandas tadi, menunjukan bahwa dalam kehidupan keseharian kita butuh politik. Harold Laswell mendefiniskan Politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Dalam hubunganya dengan siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana caranya, tentu sangat membutuhkan kekuasaan. Kuasa untuk mengelolah dan mendistribusikan sumber daya inilah yang kemudian dapat dipahami sebagai politik distributive. Politik Distributif adalah memahami politik sebagai arena alokasi dan distribusi segala seusatu yang memberdayakan atau memampukan warga dalam hubungan kuasanya dengan pihak lain (Pendidikan Pemilih Puskapol UI, 2014; hal 5).. Politik itu terjadi dimana saja mulai dari dalam rumah hingga politik diluar rumah (lingkungan sekitar) dimana kita berada. Orang tua (suami-istri) akan selalu terus bernegosiasi untuk memanfaatkan dan mendistribusikan sumber daya yang dimiliki (materi seperti uang,tanah dll, nilai; kesopanan, nilai-nilai religus dalam pendidikan keluarga) untuk kepentingan masa depan anak-anak dan keluarga yang lebih baik dan berkelanjutan. Artinya perlu disadari bahwa dalam situasi dan kondisi seperti apapun, kapanpun dan dimanapun kita sangat membutuhkan pemimpin atau kekuasaan untuk mengatur dan mengelola sumber daya.
Dalam kaitanya dengan bernegara, kita sangat membutuhkan Negara atau Pemerintah. Negara dimandatkan kuasa oleh warga untuk mengelola dan mendistribusikan sumber daya Negara atau daerah secara adil, dan secara bijak untuk kepentingan yang beragam bagi kebahagiaan warga. Proses pendistribusian sumber daya tersebut merupakan hasil dari sebuah proses pengambilan keputusan yang resmi, terbuka, partipatif dan tentu menggunakan anggaran public. Oleh karena itu ketika Negara (pemerintah) mendistribusikan sumber daya tidak dengan adil dan merata dengan mempertimbangkan tingkat kebahagiaan yang berbeda maka disaat yang sama, kepercayaan public terhadap kekuasaan tersebut menjadi menurun. Dan karena keprcayaan terhadap Negara menurun maka proses politik di negara ini akan diabaikan seperti ungkapan polos peserta pada awal tulisan ini.
Bagaimana Hubungan Pemilu dengan Politik Distributif
Politik Distributif Jebakan dan Bajakan
Pemilu legislative ataupun pemilu eksekutif (Presiden, gubernur dan bupati) tidak dimaknai semata hanya pada hari pencoblosan. TidaK sedikit orang selalu dan terus mengungkapkan pengalaman bahwa jebakan pemilu pada hari pencoblosan telah membuat banyak kandidat dan caleg bekerja ekstra untuk menang dengan mempermudah cara-cara politik distribusi sumberdaya yang bias dimana tidak memberdayakan atau memampukan warga.
Di NTT para caleg atau kandidat mulai membagi beras, pengobatan gratis, serangan fajar dengan membagi uang yang dikenal dengan membeli suara pada hari pencoblosan. Bahkan ada caleg atau kandidat membajak program dan anggaran publik (beasiswa anak sekolah,program pemerintah pusat PPIP dan dana aspirasi) secara tersembunyi sebagai sumber daya kampanye caleg atau kandidat tertentu. Begitupun warga atau constituent memaknai pemilu sebagai arena mendapatkan bantuan sesaat bahkan tidak segan-segan mengatakan kalau ada uang maka ada suara.
Tentu tidak semua tapi politik distributive jebakan dan bajakan ini sangat mempengaruhi proses pemilu ini menjadi arena politik distribusi sumber daya yang tidak bermartabat, tidak berwibawa dan sifatnya sesaat atau tidak berkelanjutan. Fakta bias politik distribusi sumber daya ini bahkan mulai meluas hingga ke daerah terpencil di NTT.
Praktek politik distributive jebakan dan bajakan inilah yang pada akhirnya berpengaruh pada ketidak pencapaian kebahagian warga. Kandidat dan caleg terpilih akan membalas dengan distribusi sumberdaya yang kurang adil dan merata karena sumber daya kita sudah kita gadaikan dengan beras, uang dan lain sebagainya. Kita tentu tidak menginginkan hal berulang itu terjadi dalam kehidupan berpolitik kita yang membuat kita pesimis dan tidak percaya terhadap
Pemilu sebagai arena Politik Distributif yang Bermartabat, Berwibawa dan Berkelanjutan
Pemilu dimakanai sebagai sebuah arena politik distributive sumber daya yang berwibawa, bermartabat dan berkelanjutan maka penulis mencoba menggambarkan pemilu sebagai arena politik distributive dari siklus pemilu yang utuh. Keutuhan pemilu yang dimaksudkan disini adalah pemilu sebagai arena politik distributive sumber daya dalam tiga siklus pemilu yakni pra pemilu, hari pencoblosan dan pasca pemilu. Ketiga siklus pemilu ini merupakan arena relasi kuasa antara warga atau constituent dengan kandidat atau caleg. Seorang kandidat atau caleg memiliki kepentingan untuk memenangkan dan ingin berkuasa melalui pemilu ini, sementara warga atau konstituen memiliki kepentingan atas pemenuhan hak-hak untuk kehidupan yang lebih baik. Karena itu dalam arena ini perlu ada transaksi relalsi kuasan kepentingan antar kedua belah pihak.
Pertama, pada siklus pra sebagai politik distributive. Pada siklus pra pemilu hendaknya dijadikan sebagai arena perencanaan sumber daya (aspirasi kebutuhan) baik jasa (penguatan kemampuan dan ketrampilan),program,kebijakan alokasi anggaran dan produk hokum (UU dan Perda), sumber daya nilai (keberpihakan pada keberlanjutan lingkungan hidup, social budaya dan kelompok rentan) dan tidak lupa pula sumber daya fisik seperti jalan, jembatan, listrik dan lain sebagainya dari warga. Perencanaan sumber daya tersebut didialogkan dan didstribusikan sebagai sebuah transaksi politik porgramatik kepada kandidat atau calon legislative secara terbuka dan partisipatif melalui berbagai bentuk semisal kontrak politik atau apapun bentuknya yang dapat menjamin kebutuhan atau kepentingan kita terdistribusi kepada kandidat atau caleg.
Kedua, Pemilu pada siklus hari pencoblosan. Pada siklus hari pencoblosan dalam pemilu sebagai politik distributive sumber daya dimaknai sebagai sebuah perencanaan sumber daya yang sudah didialogkan dan didistribusikan pada siklus pra pemilu. Namun lebih dari itu, pada hari pencoblosan, warga atau constituent mendistribusikan hak suara sebagai mandate kuasa kepada figure kandidat atau caleg yang benar-benar memiliki komitmen dan integritas yang diyakini dapat memanfaatkan kuasa tersebut untuk mendistribusikan sumber daya daerah atau Negara secara adil kepada warganya. Tentu figure caleg atau kandidat yang benar-benar memahami tugas dan fungsinya. Artinya mandate kuasa yang kita berikan tidak kemudian seorang anggota legislative kemudian menjadi pimpinan proyek yang bukan tugasnya tetapi lebih pada kekuasaan memastikan anggaran berpihak pada kepentingan umum,memastikan distribusi sumber daya sesuai dengan sasaran bukan untuk kelompok tertentu dan dapat memformulasikan berbagai aspirasi warga dalam bentuk aturan-aturan (Peraturan Daerah atau Undang-Undang) untuk keberlanjutan kehidupan warga atau konstituentnya. Selain itu, konstituen juga mendistribusikan nilai dengan menyebarluaskan informasi anti politik uang atau benetuk-bentuk transaksi jebakan lainya yang berpengaruh pada pilihan agar menjadi perlawanan bersama pada saat pencoblosan semisal mengantisipasi dan melakukan penjagaan dan perlawanan terhadap serangan fajar.
Ketiga, Pemilu sebagai arena politik distributive pada siklus pasca pemilu. Setiap kita baik sebagai konstituen atau warga maupun caleg atau kandidat selalu beranggapan bahwa dengan setelah mejatuhkan pilihan pada hari pencoblosan maka tugas kita selesai. Warga beranggapan bahwa ketika seseorang sudah terpilih dan menjadi anggota legislative atau bupati, gubernur bahkan presiden sepenuhnya adalah tanggungjawab mereka. Bahkan tidak sedikit pemimpin yang sudah terpilih-pun sudah mulai menjauh dari warga dengan berbagai cara seperti yang disampaikan peserta secara polos dalam memaknai politik pada awal tulisan ini.
Pada siklus pasca pemilu sebagai sebuah politik distributive, para kandidat atau caleg yang sudah terpilih mulai menjalankan tugas dan fungsinya dengan memproses dan membahas alokasi sumber daya pada pra pemilu sebelumnya dan mulai mengalokasikan dan mendistribusikan kepada warga secara adil. Yang jelas bahwa proses pembahasan dan pendsitribusian sumber daya tersebut, perlu dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Untuk menjamin dan memastikan semua proses pembahasan dan pendistribusian sumber daya tersebut sesaui dengan sasaran atau target maka warga atau constituent terus melakukan control termasuk berpartisipasi aktif dalam pemanfaatan sumber daya sebagai bentuk tanggungjawab dalam mengelola Negara dan daerah ini.
Begitu pula para caleg atau kandidat yang tidak lolos dalam kompetisi di pemilu, sepantasnya sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai warga bahkan tidak mungkin sudah menjadi mitra strategis bagi warga untuk tetap menjadi teman perjuangan yang terus memastikan proses – proses politik distributive sepanjang lima tahun kedepan. Dengan demikian ada keyakinan politik bahwa akan terjadi redistribusi politik pada pra pemilu akan datang yang akan membuka lembaran baru bagi anda untuk menjadi pemimpin selanjutnya.
Anda bermartabat, kamipun bermartabat dalam pemilu yang bermartabat, berwibawa dan berkelanjutan!
Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung
Tentang Kami
Kami adalah Organisasi Berbadan Hukum, Perkumpulan Nirlaba yang Melakukan Fasilitasi dan Implementasi Langsung dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan, Perempuan, dan anak pada Komunitas Desa-Kelurahan, serta Pengembangan TKLD di Berbagai Level.
Alamat
Kantor Bengkel APPeK
Jalan Raya Baumata Penfui Lingkungan Kampung Baru, RT 024/RW 011 Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur