Selamat Datang di Website Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung

Opini

WACANA TEKNOKRATIS ATAS DESA*

Dr. Laurensius Sayrani - Foto : Pos Kupang

Desa adalah potret kegagalan pembangunan di Indonesia selama ini. Sejauh ini, masih ada sekitar 32.000 desa yang tergolong sebagai desa tertinggal, yang hendaknya diatasi oleh Pemerintahan Joko Widodo hingga lima tahun ke depan.

Desa adalah potret kegagalan pembangunan di Indonesia selama ini. Sejauh ini, masih ada sekitar 32.000 desa yang tergolong sebagai desa tertinggal, yang hendaknya diatasi oleh Pemerintahan Joko Widodo hingga lima tahun ke depan. Instrumen utamanya tentu adalah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berbasiskan spirit demokratisasi desa, posisi dan kewenangan desa hendak dikuatkan sebagai basis pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Konstruksi ini cukup menjanjikan karena diharapkan mampu menciptakan pemerintahanan desa yang efektif sekaligus demokratis.

Namun demikian, tantangan justru baru dimulai ketika kebijakan ini memasuki fase implementasi. Perlu disadari bahwa implementasi kebijakan bukanlah melulu terkait dengan aspek operasionalisasi semata, tetapi lebih dari itu, fase ini jauh lebih strategis karena cenderung abu-abu, melibatkan banyak aspek, aktor dan kepentingan. Hal ini berpotensi merubah arah kebijakan dari subtansinya yang diujungnya adalah kegagalan kebijakan itu sendiri.

Teknokratis Anggaran

Di fase implementasi ini, keabu-abuan UU Nomor 6 tahun 2014 dapat dilacak pada pewacanaan pembangunan desa--pewacanaan teknoratis--harus dibedakan dengan pewacanaan subtantif di aras perumusan kebijakan ini. Pewacanaan teknokratis dikembangkan oleh para implementor langsung dari kebijakan ini mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa maupun kelompok sasaran terutama pemerintah dan masyarakat desa menurut perspektif dan kepentingannya masing-masing.

Namun pewacanaan teknoratis ini, nampaknya masih didominasi oleh kelompok birokrasi, politisi dan akademisi yang disebarluaskan terutama melalui media massa, forum seminar dan berbagai forum pemerintahan. Dalam wacana teknokatis, isu dominan yang berhasil dikembangkan selalu terkait dengan pertimbangan teknis-rasional dan itu selalu diarahkan atau dikaitkan dengan isu anggaran desa. Rata-rata alokasi anggaran ke desa yang bisa mencapai 1 miliard per desa menjadi isu “seksi” pewacanaan teknorasi ini. Asumsi yang dikembangkan—dan ini asumsi yang tidak selalu benar—desa selama ini miskin dan tertinggal karena tidak memiliki uang (anggaran). Oleh karena itu, berikan desa uang sebanyak mungkin maka desa akan maju. Wacana ini berbahaya karena bersamaan dengan itu, akan berkembang pula semacam keraguan terhadap kemampuan desa, yang ditandai dengan seringnya pertanyaan tentang kesiapan aparat pemerintah desa dalam mengelola anggaran yang terus dikatakan sangat besar tersebut.

Wacana ini berbahaya karena berimplikasi pada pergeseran isu pembangunan desa dari isu demokratisasi desa menjadi sekedar isu anggaran (terutama teknis pengelolaannya). Selain itu, desa secara sistimatis diposisikan sebagai penangggungjawab penuh atas peluang kegagalan implementasi kebijakan ini di kemudian hari. Untuk lebih mematikan lagi, wacana besarnya kemungkinan korupsi di tingkat desa menjadi pembingkai untuk menunjukkan kegagalan desa nantinya. Korupsi itu sendiri adalah isu penting dalam tata kelola desa ke depan. Soalnya adalah ketika semua infrastruktur tata kelola pemerintahan desa yang baik belum disiapkan dan dibangun oleh pemerintah dan pemerintah daerah maka menjadi tidak cukup bijak untuk menteror desa dengan korupsi.

Kondisi ini tidak terlalu ideal karena dalam pewacanaan ini, desa (aparat pemerintah dan masyarakat) sejak awal telah digiring atau dikondisikan sebagai aktor (kelompok) yang akan paling disalahkan, jika pembungunan desa (capaian pengentasan desa tertinggal, tata kelola bebas korupsi, dll) tidak tercapai secara maksimal.

Kesiapan Pemerintah

Berbagai wacana ini mesti dibalik dengan mengarahkan pertanyaan kepada pemerintah dan pemerintah daerah tentang sejauhmana kesiapan mereka mengimplementasi undang-undang tentang desa ini. Kesiapan itu terutama menyangkut desain implementasi yang efektif. Pertanyaan ini penting karena kesuksesan kebijakan pembangunan desa ini akan sangat tergantung pada kekomprehensifan desain implementasinya. Dan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Aspek kelembagaan terutama di pemerintah pusat dan daerah itu sendiri menjadi dimensi pertama desain implementasi UU ini. Di tingkat pemerintah pusat, implementasi UU ini justru diperhadapkan pada kesiapan penataan kelembagaan kementrian untuk mengabungkan urusan yang berbeda yaitu transmigrasi, pembanguna daerah tertinggal dan desa itu sendiri. Khusus untuk urusan desa, menarik Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa yang selama ini berada di Depdagri bukan perkara sekali selesai. Hal yang dikuatirkan adalah penataan ini tidak berjalan mulus dalam artian mampu mengabungkan sumber daya manusia, orientasi dan cara kerjanya.

Pemerintah daerah di aras lokal juga memiliki situasi, orientasi, cara kerja dan kepentingan yang tidak selalu bisa “ditertibakan” dalam birokrasi pemerintah pusat. Tantangan klasik birokrasi adalah sulitnya merubah kemapanan pola kerja serta mengikis kepentingan dari semua aktor yang selama ini tumbuh dalam pola kerja tersebut.

Pada aspek yang lain, penataan dan pengoperasionalisasian kewenangan desa, sistem pengelolaan keuangan di tingkat kabupaten dan desa itu sendiri, sistem perencanaan desa dan kabupaten serta mekanisme akuntabilitas adalah beberapa hal strategis yang akan menentukan dinamika pembangunan desa ke depan. Di dalamnya tentu termasuk pemosisian dan efekttifitas peran pemerintah kabupaten dalam mengfasilitasi berbagai hal yang memungkinkan pemerintah desa berkinerja secara baik. Belajar dari pengalaman sebelumnya, beberapa aspek ini sering tidak terkelola secara baik. Sekali lagi ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.

Berbagai uraian ini hendak menunjukkan bahwa pembangunan desa tidak bisa dilihat secara parsial dan mendeterminasi menjadi domain dan tanggung jawab desa itu sendiri. Pengalokasian anggaran kepada desa yang besar itu hanya merupakan salah satu dimensi saja. Pembangunan desa mesti dikaitkan juga dengan aspek dan dinamika kewenangan, perencanaan, mekanisme akuntabilitas serta partisipasi masyarakat yang ditopang oleh kelembagaan desa yang baik pula. Itu artinya, pembangunan desa adalah tanggung jawab semua level pemerintahan dan ini harus menjadi pemahaman dan wacana semua pihak pula.

 *Pernah dimuat di Kolom Opini Pos Kupang, 03 Septemer 2014

 

 

Peneliti Bengkel APPeK

Anggota Tim Peneliti Bengkel Appek, Pengajar di Fakultas Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana Kupang.

Experience

Aktif dalam berbagai penelitian di Bengkel APPeK serta berperan dalam menerbitkan sejumlah Buku dan Modul yang menjadi panduan pergerakan Bengkel APPeK

Education

Menyelesaikan S3 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Bengkel APPeK

www.BengkelAPPeK.org

Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung

Tentang Kami

Kami adalah Organisasi Berbadan Hukum, Perkumpulan Nirlaba yang Melakukan Fasilitasi dan Implementasi Langsung  dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan, Perempuan, dan anak pada Komunitas Desa-Kelurahan, serta Pengembangan TKLD di Berbagai Level.

Alamat

Kantor Bengkel APPeK

Jalan Raya Baumata Penfui
Lingkungan Kampung Baru, RT 024/RW 011
Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur

Email

bengkel.appek@gmail.com

Media Sosial Bengkel APPeK