Selamat Datang di Website Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung

Opini

Pilkada Oleh DPRD, Pembajakan Demokrasi

  • Oleh : Eusabius Niron

  • Aktivis Bengkel APPeK NTT
Bengkel Appek Kupang

Polemik Pilkada oleh DPRD menjadi topik diskusi, perbincangan serta perdebatan yang menarik dalam aktivitas publik pasca sidang paripurna penetapan atau pengesahan UU Pilkada oleh DPR RI menjelang berakhirnya masa jabatan mereka. Pengesahan UU Pilkada ini mendapat respon, tanggapan dan reaksi dari masyarakat sipil, kepala daerah (Bupati/Walikota & Gubernur) serta pengamat politik. Ada pro dan tentu saja ada yang kontra dengan sistem pilkada ini. Argumentasi politik yang dibangun atau yang dikemukan oleh anggota DPR RI yang terdiri dari beberapa fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP dan Demokrasi ) adalah bahwa Pilkada Langsung cenderung memboroskan anggaran negara, membutuhkan biaya yang begitu tinggi oleh kandidat serta cenderung menumbuh suburkan praktek money politik. Selain itu praktek sistem Pilkada Langsung sering menimbulkan konflik horizontal diantara masyarakat Sedangkan politisi (Anggota DPR RI dari fraksi PDIP, PKB dan Hanura) menolak Pilkada oleh DPRD atau mendukung Pilkada Langsung memberikan pertimbangan bahwa dengan Pilkada Langsung menunjukan adanya kemajuan dalam demokrasi dimana rakyat menentukan sendiri pemimpinya dan merupakan aktualisasi dari kedaulatan rakyat.

Pilkada Oleh DPRD Alasan Emosional Kekuasaan
Rasionlitas politik yang dibangun oleh wakil rakyat (DPR RI) agar Pilkada oleh DPRD dengan pertimbangan :Pilkada Langsung cenderung memboroskan anggaran negara adalah alasan yang tidak substansial untuk dapat menjustifikasi Pilkada oleh DPRD. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah dengan Pilkada oleh DPRD dapat mengatasi masalah pemborosan anggara negara? Jawabannya adalah belum ada riset ilmiah yang bisa memastikan bahwa biaya Pilkada oleh DPRD jauh lebih efisien dari pada Pilkada langsung. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa ongkos politik tidak resmi untuk membeli perahu, kendaran politik partai di DPRD jauh lebih sedikit ketimbang penyelenggaraan pemilihan langsung oleh rakyat. Pengalaman Pilkada oleh DPRD justru menimbulkan dan menumbuh-suburkan praktek transaksi politik yang bersifat negative antara calon kepala daerah dan anggota legislative, dan hasilnya kemudian adalah kepentingan masyarakat yang dikorbankan dan tata kelola pemerintahan daerah cenderung KKN akibat transaksi politik yang negatif tersebut.

Cara untuk mengatasi mahalnya ongkos penyelenggaraan Pilkada adalah secepatnya memperbaiki kualitas aturan penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Sebab, dalam konteks substansi, harus diakui bahwa pengaturan yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada memang isinya jauh lebih mundur daripada pengaturan Pileg dan Pilpres 2014, inilah solusi yang bijaksana. Karena itu, Pemerintah sebaiknya fokus perhatian pada pembuatan aturan yang bisa menekan maraknya politik uang, jual beli ‘kendaraan politik”, dan suara pemilih, serta penegakan hukum dan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang terjadi. Kemudian soal aturan dana kampanye Pilkada Langsung yang sangat tidak bergigi dalam menjerat penyalahgunaan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Singkatnya, aturan yang ada lah yang telah memfasilitasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang berujung pada politik biaya tinggi penyelenggaraan pilkada Langsung selama ini.

Pilkada Langsung cenderung menimbulkan konflik sosial adalah sebuah argumentasi yang konyol karena tidak disertai dengan data yang kuat tentang tindak masifnya konflik atau kekerasan. Beberapa kasus konflik sosial dalam pelaksanaan Pilkada Langsung adalah kasuistik yang kemudian tidak menjadi legitimasi bahwa Pilkada Langsung itu identik dengan kekerasan. Masalah konflik ini muncul justru dipicu oleh kurangnya pendidikan politik atau penyadaran politik demokrasi yang seharusnya menjadi bagian dari peran dan tanggung jawab partai politik yang wakil-wakilnya ada di lembaga legislative). Jika hal ini dijalankan secara baik dan didukung oleh tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat maka kekuatiran politik akan konflik sosial yang sifatnya horizontal yang sifatnya permanen bisa dicegah atau diminimalisir secara perlahan-lahan.

Mengkaji proses politik dalam pengesahan UU Pilkada ini, bagi saya anggota DPR RI Periode 2009 – 2014 telah menggunakan pertimbangan emosional dalam membahas dan akhirnya menetapkan UU Pilkada. Kebijakan yang diambil ini adalah sebuah keputusan politik jangkah pendek untuk merebut kekuasan politik lokal. Anggota DPR RI tidak menjalankan amanah sebagai wakil rakyat, sehingga ketika mengambil keputusan politik yang penting bagi keberlangsungan atau masa depan demokrasi Indonesia ini mereka mengabaikan suara, aspirasi masyarakat. Anggota DPR RI semestinya lebih berkonsentrasi pada perbaikan substansi aturan yang bisa menjamin kualitas pilkada, memilih sistem pemilu yang efisien (misalnya usulan pemilu serentak dan pilkada satu putaran saja), menekan maraknya politik uang dengan membuat aturan penegakan hukum yang jelas/tidak multitafsir dan disertai sanksi yang tegas, serta pengaturan dana kampanye yang tidak hanya formalitas. Ketimbang mengambil langkah mundur dengan membajak hak politik masyarakat dengan mengesahkan UU Pilkada oleh DPRD.

Pilkada Langsung : Pendalaman Dan Kosolidasi Demokrasi
Terhadap situasi politik kontriversi UU Pilkada , sejumlah akademisi, pegiat demokrasi dan civil society memberikan kritik terhadap upaya pengebirian hak politik masyarakat yang dilakukan oleh wakil rakyat (DPR). Potret buram perjalanan politik Pilkada oleh DPRD menyisahkan sejumlah masalah krusial misalnya transaksi politik yang terjadi di DPRD, konflik kepentingan antara Bupati/walikota dengan DPRD. Hemat saya, Pilkada langsung yang sementara dijalankan merupakan suatu pendalaman demokrasi atau konsolidasi demokrasi. Karena dalam pemilihan kepala daerah itu demokrasi yang berakar langsung pada rakyat (pemilih). Hal ini memiliki korelasi yang signifikan dengana konsep berlian dari Abraham Lincoln tentang demokrasi, yakni : Democrasy is Government of, by and for the people” (dari, oleh dan untuk rakyat). Dari rakyat, maksudnya bahwa orang yang menjadi penyelenggara daerah atau pemerintahan daerah harus didukung oleh seluruh rakyat dan bukan Ia terpilih karena “Suku dan Uang”. Oleh rakyat, berarti penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan oleh orang yang dipilih rakyat. Sedangkan untuk rakyat, maksudnya pemerintah berjalan sesuai kehendak rakyat.

Dalam sejarah politik Indonesia, keputusan untuk menyelenggarakan pilkada secara langsung, menyusul pemilihan presiden (pilres) secara langsung, bagaimana pun merupakan sebuah terobosan yang “revolusioner”. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat jelas lebih meningkatkan kualitas partisipasi serta kedaulatan rakyat. Alasan yang memperkuat gagasan ini karena dalam pemilihan langsung, rakyat menentukan sendiri siapa yang dianggap pantas dan layak untuk menjadi pemimpin politik di daerahnya.

Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokratis (politik) bagi rakyat (civil education). Sistem pemilihan ini menjadi media pembelajaran praktis berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya pemilihan pemimpin yang benar sesuai dengan hati nurani. Bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu “keharusan dan kebutuhan”. Argumentasinya, dalam pilkada langsung masyarakat memiliki kebebasan politik untuk menentukan pilihan kepala daerahnya tanpa ada tekanan. Kebebasan politik ini dapat menumbuhkan “keberanian dan ketajaman berpikir” masyarakat untuk mengungkapkan berbagai keinginannya kepada bakal calon pemimpinnya sebagai wujud seleksi kepemimpinan lokal. Artinya, masyarakat memiliki akses berinteraksi langsung dengan bakal calon kepala daerah yang akan mengelola masa depan daerahnya, sehingga pada gilirannya turut mempengaruhi sikap masyarakat dalam menentukan pilihan serta hasil pilkada langsung. Masyarakat berharap bahwa demokrasi politik yang sudah dibangun lewat Pilkada langsung tetap dirawat, dikembangkan demi menghargai menghormati kedaulatan politik masyarakat sebagai warga negara. Inilah urgensi demokratisasi politik rakyat. Demokratisasi politik sesungguhnya sama artinya dengan memposisikan rakyat secara aktif. Artinya, rakyat menjadi kekuatan yang kritis dan responsif. Rakyat adalah warga masyarakat daerah yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-hak dan kepentingan-kepentingan terakomodasi melalui prosedur yang demokratis. Salam perjuangan pro demokrasi untuk rakyat.

Tim Media
Terbentuk sejak Tahun 2014 dan aktif menyampaikan berbagai informasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Bengkel APPeK NTT.
Bengkel APPeK

www.BengkelAPPeK.org

Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung

Tentang Kami

Kami adalah Organisasi Berbadan Hukum, Perkumpulan Nirlaba yang Melakukan Fasilitasi dan Implementasi Langsung  dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan, Perempuan, dan anak pada Komunitas Desa-Kelurahan, serta Pengembangan TKLD di Berbagai Level.

Alamat

Kantor Bengkel APPeK

Jalan Raya Baumata Penfui
Lingkungan Kampung Baru, RT 024/RW 011
Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur

Email

bengkel.appek@gmail.com

Media Sosial Bengkel APPeK