Kuasa Emosi Atas Rasionalitas Politik Dalam Pemilu
Oleh : Eusabius Niron
Aktivis Bengkel APPeK NTT
Details
By Tim Media Bengkel Appek
Tim Media Bengkel Appek
Hits: 2976
Gerilya politik, konsolidasi, kampanye, propaganda dan lain sebagainya senantiasa digalakkan. Kunjungan persahabatan, silaturahmi, temu kangen atau apa pun namanya terus mewarnai aktivitas pelaksanaan Pemilu 2014. Seluruh sumberdaya dimaksimalkan demi meraih kemenangan. Kalkuasi jumlah suara terus dihitung, pemetaan kekuatan dan penyebaran pemilih turut menjadi bagian yang integral dari satu kesatuan untuk mendapatkan kemenangan.
Tensi persaingan semakin ketat ketika perhelatan akbar, pesta demokrasi rakyat memasuki hari pelaksanaan pemilihan umum. Peserta pemilu dan tim sukses mulai melakukan strategi politik. Untuk mencapai tujuan tersebut sering para caleg, tim sukses dan aktivis partai menjalankan aktivitas politik berupaya penyebaran isu-isu politik dan kebijakan politik untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Sehubungan dengan aktivitas politik menjelang pemilu maka penyebaran political issue dan kebijakan politik sangat mempengaruhi perilaku pemilih, tetapi terdapat pula sejumlah faktor penting lainnya. Sekelompok orang bisa saja memilih sebuah kandidat atau partai politik karena dianggap sebagai representasi agama atau keyakinannya. Tetapi kelompok yang lain memilih karena kandidat atau partai politik tertentu dianggap representasi dari kelas sosialnya. Ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada figur tokoh tertentu.
Dibanyak negara yang telah memiliki tradisi panjang dalam pemilu, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, pendekatan voting behavior sudah sangat berkembang. Hal itu disebabkan oleh banyak kajian yang berkaitan dengan perilaku pemilih di negara-negara tersebut. Kajian terhadap perilaku pemilih kini juga berkembang di Jepang, India, dan Korea Selatan. Ketiganya adalah negara di Asia yang sudah berkembang kehidupan demokrasinya. Persoalannya, bagaimana melihat perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka terhadap kandidat/parpol. Di Amerika Serikat pada dekade 1950-an, penjelasan teoritis tentang voting behavior ini cenderung didasarkan pada dua model, yakni lewat pendekatan sosiologis dan psikologis. Di lingkungan ilmuwan sosial di Amerika Serikat , pendekatan sosiologis awalnya dikembangkan oleh mazhab Columbia, yaitu The Columbia School of Electoral Behavior. Sementara itu pendekatan psikologis lebih banyak dikembangkan oleh mazhab Michigan, The Michigan Survey Research Center.Perbedaannya, jika mazhab Columbia lebih difokuskan pada pendekatan sosiologis, mazhab Minchigan difokuskan pada factor psikologis para pemilih dalam menentukan pilihannya. Di luar itu, ada pendekatan lain yang pernah ditulis Dennis Kavanagh (1983) dalam buku Political Science and Political Behavior. Menurut Dennis, ada lima model untuk menganalisis perilaku pemilih, yakni pendekatan struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial, dan pilihan rasional.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan politik diperlukan dalam menyusun strategi komunikasi, manajemen kandidat dan penyusunan isu dan kebijakan yang akan ditawarkan kepada para pemilih. Efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan politik apa dan dengan cara bagaimana pesan politik disampaikan ditentukan oleh pemahaman perilaku politik, berupa siapa, kapan dan bagaimana seorang kandidat tampil agar dapat menarik massa juga mempengaruhi perilaku memilih. Singkatnya, perilaku pemilih menjadi infomasi penting yang sangat berguna dalam perencanaan kampanye dan alokasi sumber daya yang dimiliki oleh seorang kandidat atau sebuah partai.
Perilaku memilih tidak sekedar perilaku individu yang bersifat rasional. Ada unsur refleksi struktur budaya, ekonomi ataupun politik yang berpengaruh. Oleh karena itu untuk memahami tingkah laku individu termasuk keputusan memilih dalam Pemilu harus dihubungkan dengan interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Selanjutnya interaksi sosial ini akan membangun kesamaan persepsi antara anggota masyarakat yang kemudian menentukan interprestasi seseorang terhadap satu fenomena sosial.
Pilihan individu didasarkan pada disposisi yang ada, yang terbentuk dari pengalaman masa lalu, materi yang ada, juga insentif sosial yang ditawarkan. Disposisi diartikan sebagai ciri, pengetahuan, nilai dan identifikasi kelompok yang terbentuk sepanjang rentang kehidupan. Sementara insentif sosial merupakan pertimbangan untung dan rugi yang akan diterima seeorang termasuk penerimaan oleh kelompok sosialnya. Masyarakat akan memilih berdasarkan disposisi yang ada, namun tidak berarti bahwa masyarakat kebal terhadap informasi baru, karena pada dasarnya masyarakat merespon lingkungannya terutama norma-norma sosial. Ketika masyarakat menentukan suatu pilihan, mereka menghargai adanya norma-norma yang dapat diterima oleh kelompok sosial dan mengetahui konsekuensi yang akan dihadapi jika melawan norma tersebut. Tetapi terkadang masyarakat memilih berdasarkan atas ketertarikan sesaat secara materi, tidak pada disposisi yang ada.
Hemat saya, dalam konteks Pemilu, 9 April 2014 yang akan datang, sebagian besar pemilih masih memilih karena pertimbangan tradisional dengan melihat faktor etnis, agama dan lain-lain ketimbang menggunakan rasio dan otak untuk menentukan pilihannya. Oleh karena itu, menyongsong Pemilu 2014, 9 April yang akan digelar, seluruh pihak harus berupaya mencerdaskan dan mengkritiskan masyarakat agar tercipta pemilih rasional yang dapat menunjang kuantitas dan kualitas keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2014. Pendidikan kritis pemilih melalui civi education, voter education, dan voter information sudah saatnya dilakukan dengan memperhatikan substansi dan metodologi dalam menyelenggarakan pendidikan kritis pemilih. Dalam kaitannya dengan pilihan politik yang rasional, Jurgen Habermas (1989) membedakan dua jenis rasionalisasi politik pemilih. Pertama, rasionalisasi dari bawah (from below), yaitu rasionalisasi pemilih yang berkembang secara alamiah di kalangan masyarakat akar rumput tanpa ada komando dari atas. Kedua, rasionalisasi dari atas (from above), yaitu rasionalisasi pemilih yang dikendalikan atau didesain dari atas oleh kelompok-kelompok elite dalam konteks politik massa.
Dengan demikian, dalam rangka menuju pemilih rasional pada Pemilu, 9 April 2014 mendatang, hal itu diserahkan kepada seluruh pemilih yang mempunyai hak memilih, apakah akan memulai dari atas atau bawah. Hemat penulis, dua jalan yang digagas Habermas tentang rasionalisasi politik pemilih dari bawah dan dari atas perlu diikuti dan sedikit diubah. Perubahannya justru dilakukan dengan sedikit mengamati kerja politik deliberatifnya Habermas juga. Bahwa masyarakat memiliki keinginan untuk mengembangkan demokrasi tetapi demokrasi itu harus dibingkai oleh nilai multikulturalisme. Inilah salah satu cara yang bisa digunakan oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan komunitas pemilih rasional yang cerdas dan kritis.
Untuk menentukan calon wakil rakyat yang dipilih (DPR, DPD dan DPRD), tidak ada salahnya belajar dari pengalaman Pemilu 2009 yang lalu. Setelah mempelajari rekam jejak caleg, mendengarkan kampanye dan pogram partai politik , biarkan hati nurani membimbing kita untuk memilih. Iming-iming hadiah hendaknya jangan melunturkan keteguhan suara hati. Menjatuhkan pilihan atas dasar hadiah itu sama halnya menggadaikan hati nurani dan merendahkan harga diri sendiri. Maka biarkan hati nurani dan pikiran yang jernih menyatu untuk menentukan pilihan. Sekecil apapun sumbangan politik dalam pilihan politik ikut serta mewarnai masa depan demokrasi Indonesia dan politik lokal Nusa Tenggara Timur . Selamat mencoblos….!
Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung
Tentang Kami
Kami adalah Organisasi Berbadan Hukum, Perkumpulan Nirlaba yang Melakukan Fasilitasi dan Implementasi Langsung dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan, Perempuan, dan anak pada Komunitas Desa-Kelurahan, serta Pengembangan TKLD di Berbagai Level.
Alamat
Kantor Bengkel APPeK
Jalan Raya Baumata Penfui Lingkungan Kampung Baru, RT 024/RW 011 Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur