Sepintas terkesan kontradiktoris dua kata pertama dari judul tulisan ini. Namun begitulah bila kita ingin jujur terhadap fakta layanan publik kita. Bahkan ketika ingin lebih jujur lagi ternyata layanan publik kita amat membingungkan untuk diurai secara logis.
Sepintas terkesan kontradiktoris dua kata pertama dari judul tulisan ini. Namun begitulah bila kita ingin jujur terhadap fakta layanan publik kita. Bahkan ketika ingin lebih jujur lagi ternyata layanan publik kita amat membingungkan untuk diurai secara logis. Ambigu ini tampak dalam maraknya pengabaian terhadap hak masyarakat ketika mendapat layanan publik akhir-akhir ini yang kian meresahkan. Fakta ini pada satu sisi dapat menjadi ukuran pembenaran atas penilaian buruk masyarakat terhadap instansi layanan publik. Sejumlah pengalaman pahit saat berurusan dengan layanan publik pemerintah mulai dari urusan yang berbelit, waktu pengurusan yang lamban membuat masyarakat merasa bahwa layanan publik sedang tak memberikan kenyamanan. Akhirnya instansi layanan publik dipandang tak lebih sebagai tempat terakhir masyarakat mengakses layanan layaknya pemenuhan kebutuhan lain yang dapat diakses di tempat lain. Pilihan tersebut sejatinya bukan lahir dari asas kebebasan namun sebagai konsekuensi dari system layanan yang sentralistik.
Lebih menekankan aspek proseduralistik dibanding unsur esensial pelayanan hanyalah secuil dari banyaknya praktek yang lebih membebankan daripada menjawab kebutuhan masyarakat. Memang prosedural adalah aspek penting yang tak boleh diabaikan namun harus dipahami dalam koridor memperlancar urusan layanan dan bukannya dipelintir sedemikian rupa hingga lupa menjawab kepentingan masyarakat. Tak hanya itu munculnya sejumlah agenda pembangunan pemerintah yang semestinya demi kesejahteraan rakyat dalam sekejap mata berbalik menjadi hantu yang mencemaskan. Tak ayal, pembangunan berbuntut pada penolakan besar-besaran dari masyarakat. Pada tempat lain pemerintah bersikeras memenangkan agendanya dan rakyat tetap pada posisinya yaitu menolak. Keterpecahan sikap ini menebar kebimbangan besar soal keberpihakan dan orientasi pemerintah. Di balik sederet tantangan itu terselip satu unsur penting yang kerap disepelehkan yaitu informasi. Padahal sesungguhnya informasi memiliki peran besar namun menjadi mahal untuk diakses masyarakat. Ketika menilisik lebih dalam ditemukan bahwa informasi terkesan disetarakan dengan privasi yang tak boleh dipertanyakan. Kecemasan akan fenomen inilah yang hendak ditelisik dan diwacanakan dalam tulisan ini.
Informasi Adalah Hak Dasar
Layanan informasi publik sejatinya adalah urusan yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Kesadaran akan pentingnya akses informasi kerap dipahami secara sebatas pada sejauh mana informasi memiliki kepentingan dengan instansi bersangkutan. Menilai penting atau tidak ternyata telah terperangkap dalam kotak kepentingan dan berbuntut mengorbankan masyarakat kecil. Praktek ini secara jelas adalah monopoli sepihak yang tak adil. Cara paham sepihak yang sejatinya adalah bentuk sabotase hak masyarakat ini harus dipangkas.
Jika menilik kembali unsur esensial hadirnya sebuah lembaga maka lembaga hadir bukan dari dan demi dirinya sendiri tetapi atas kebutuhan masyarakat. Jika saja kerangka pikir ini diletakkan kembali secara benar maka lembaga pemerintah semestinya memahami bahwa kehadirnya merupakan tindaklanjut dari sebuah kemendesakan kebutuhan suatu entitas besar yang disebut masyarakat. Dengan demikian maka lembaga publik hadir demi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Penempatan masyarakat sebagai “kelas kedua” adalah sebuah pelanggaran besar yang tak dapat ditolerir. Instansi publik mesti menempatkan kembali masyarakat sebagai alasan keberadaannya.
Keterbukaan Informasi Sebagai Barometer Mengukur Tingkat Korupsi
Pelibatan peran serta masyarakat dalam agenda pembangunan adalah roh dari good governance yang tengah diusung. Untuk itu keterbukaan informasi dan kemudahan dalam mengakses menjadi pintu masuk bagi partisipasi rakyat. Informasi menjadi penting sebagai penyokong bagi masyarakat dalam melakukan kontrol dan pengawasan penyelenggaraan negara. Undang-undang tentang Pelayanan Publik nomor 25 tahun 2009 pasal 35 point 3 ayat 1 menggarisbawahi bentuk pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan dalam penyelenggaraan pelayan publik sebagai bentuk pengawasan eksternal selain pengawasan internal oleh lembaga bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat 2. Perundang-undangan ini menjadi jaminan keikutsertaan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang ada.
Partisipasi masyarakat bertujuan menilai kualitas dan kinerja kerja, kebijakan-kebijakan serta menyediakan rekomendasi demi perbaikan atau peningkatan kualitas pelayanan. Karena itu ruang partisipasi rakyat yang berkaitan erat dengan peningkatan layanan publik tak boleh dipisahkan. Semakin tinggi tingkat pengawasan terhadap sebuah intansi, semakin kecil pula peluang terjadinya praktek-praktek kontra produktif yang merugikan. Karena itu membuka ruang partisipasi dengan memberikan kemudahan akses informasi publik kepada masyarakat adalah unsur penting yang harus diberikan terlebih dahulu dan kecenderungan memprivatkan informasi publik hanya akan menyuburkan korupsi yang kian hari kian mengancam negeri tercinta ini.
*Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini Harian Victory News
Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung
Tentang Kami
Kami adalah Organisasi Berbadan Hukum, Perkumpulan Nirlaba yang Melakukan Fasilitasi dan Implementasi Langsung dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan, Perempuan, dan anak pada Komunitas Desa-Kelurahan, serta Pengembangan TKLD di Berbagai Level.
Alamat
Kantor Bengkel APPeK
Jalan Raya Baumata Penfui Lingkungan Kampung Baru, RT 024/RW 011 Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur